Ketika Pendidikan Gagal Memanusiakan Manusia: Alarm Darurat Bullying di Indonesia

Ketika berita perundungan siswa SMPN 19 Tangsel yang berujung dengan kematian sampai ke timeline-ku, seluruh tubuhku mendadak lemas. Mataku panas. Di halte bus yang temaram di 11th Avenue di Seattle, ribuan kilometer dari Indonesia, aku menangis sesenggukkan untuk seorang anak yang bahkan tidak pernah kukenal. Hatiku hancur karena aku tidak bisa melakukan apa pun untuk mencegah hal itu terjadi.

Saat itu, aku merasa gagal sebagai pendidik. Gagal sebagai mahasiswa pendidikan. Jauh-jauh belajar teori social-emotional learning, restorative justice, psikologi perkembangan, dan kurikulum yang membayangkan pendidikan sebagai alat perubahan sosial, tapi aku harus menyaksikan kabar memilukan seperti ini.

Perundungan ini terjadi di lingkungan sekolah, dan satu murid harus meregang nyawa karenanya. Sekolah yang seharusnya tempat membangun karakter dan moral, malah menjadi perantara siswa untuk menindas siswa lainnya. Ketika sekolah seharusnya mengajarkan seseorang menjadi manusia, ia malah jadi tempat yang membiarkan seorang murid menghilangkan nyawa manusia. 

Kita gagal. Sistem pendidikan kita gagal. Dan setiap dari kita yang memilih diam juga gagal.

Kita telah gagal memanusiakan manusia.

Maafkan kami, Dik,

karena kami lalai menjaga dan memberi ruang aman untuk kamu.

Maafkan kami, Dik,

karena kamu harus ada dalam sistem yang tidak mampu melindungimu.

Dan ini baru satu kasus dari sekian banyak yang muncul ke permukaan. Di luar sana masih ada banyak korban yang memilih diam, memendam, dan menanggung luka sendirian.

Apa pun yang terjadi dalam pendidikan kita, satu hal yang jelas,

Ia harus dibenahi.

Pendidikan kita berada dalam kondisi darurat, dan ini tanggung jawab kita bersama buat menjawab alarm darurat ini.

Kekerasan pada Anak Bukan Fenomena Tunggal

Perundungan yang makin sering terjadi dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut teori sosial-ekologis, kekerasan terhadap anak, termasuk perundungan, dipengaruhi oleh empat lapis faktor: 1. individu, 2. hubungan dekat, 3. komunitas, dan 4. masyarakat. WHO melalui kerangka pikir INSPIRE menunjukkan bahwa pencegahan kekerasan harus bekerja sekaligus pada semua tingkat risiko tersebut.

1. Faktor pada level individu meliputi kondisi biologis dan personal: 

  • usia, jenis kelamin, dan kondisi disabilitas
  • gangguan perkembangan dan psikologis
  • penyalahgunaan alkohol dan narkoba
  • riwayat agresi atau pengalaman dianiaya

2. Faktor pada level hubungan dekat (keluarga & teman sebaya): 

  • kurangnya ikatan emosional
  • pola asuh yang keras atau tidak konsisten
  • konflik dan kekerasan dalam rumah tangga
  • pergaulan dengan teman sebaya yang nakal
  • tekanan ekonomi rumah tangga

3. Faktor pada level komunitas (sekolah & lingkungan)

  • kemiskinan
  • lingkungan fisik yang tidak aman
  • kohesi sosial rendah
  • layanan psikologis atau BK di sekolah yang tidak memadai
  • kebijakan sekolah yang lemah     
4.  Faktor pada level masyarakat
  • norma sosial yang menoleransi kekerasan
  • ketimpangan ekonomi dan gender
  • sistem perlindungan sosial yang rapuh
  • penegakan hukum dan tata kelola yang lemah (WHO, 2016)

Perundungan di sekolah adalah puncak gunung es dari akumulasi masalah-masalah ini. Perundungan yang makin sering terjadi di lingkungan sekolah ini adalah salah satu dari banyak hal yang membuktikan bahwa kondisi individual, hubungan dekat, komunitas, dan masyarakat ini melanggengkan kekerasan pada anak. kondisi ekonomi yang kian menurun; sulitnya lapangan kerja, tingginya harga bahan pangan yang menyebabkan kurangnya pengawasan orangtua, peran guru Bimbingan Konseling dan psikolog sekolah yang kurang maksimal, beban kerja guru yang tinggi terapi kesejahteraan rendah sehingga pengawasan terhadap siswa rendah, dan masih banyak lagi.  Semua faktor ini saling menguatkan.

Lantas, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

1. Whole School Approaches

Intervensi anti-perundungan harus komprehensif dan menyentuh berbagai dimensi sekaligus. Salah satu program nyata yang berhasil adalah program KiVa dari Finlandia yang dikenal sebagai salah satu intervensi anti-perundungan paling efektif di dunia. KiVa berfokus tidak hanya pada pelaku dan korban tetapi juga bystanders atau teman sebaya yang berada di sekitar lingkungan perundungan.

Penelitian yang melibatkan 69 lokasi di Eropa dan Amerika menunjukkan bahwa program anti-perundungan sekolah secara signifikan menurunkan angka pelaku dan korban, serta meningkatkan kesehatan mental siswa (Widiyanto, 2018) (Gaffney, 2023) (Fraguas et.al, 2021). Temuan lain menegaskan bahwa pendekatan KiVa efektif karena: 

  1. fokusnya tidak hanya pada korban dan pelaku, tetapi seluruh kelompok sebaya
  2. bekerja pada berbagai level: kelas, sekolah, dan individu,
  3. memanfaatkan model sosial-ekologis, sehingga menyasar akar masalah secara menyeluruh.

KiVa punya beberapa komponen: 

  • Student Lessons: Social Emotional Learning (SEL), empathy, role-play, group norms
  • Digital Games: Reinforce prosocial behavior
  • Teacher Training How to recognize and respond
  • KiVa Team: Handles cases systematically
  • School-Wide Materials: Posters, vests, visuals for visibility
  • Annual Monitoring: Surveys for tracking school climate

Program seperti KiVa bisa jadi inspirasi yang memperbaiki sistem di sekitar anak.

2. Keterlibatan Orangtua

Selain KiVa, ada juga program seperti kunjungan ke rumah siswa. Menurut penelitian Chen et.al,  melibatkan program anti-perundungan berbasis sekolah dan kunjungan rumah. Ukuran efek keseluruhan mendukung hasil yang signifikan terhadap pengurangan perundungan (d = 0,640, interval kepercayaan 95%. Artinya, keterlibatan orang tua berperan signifikan terhadapt pengurangan perilaku penindasan dan harus diikutsertakan dalam sosialisasi anti bullying.

3. Pembelajaran Sosial-Emosional

Program yang membangun regulasi emosi, empati, dan resolusi konflik (keterampilan inti SEL) sangat berpengaruh dalam upaya anti-perundungan. SEL membantu siswa mengelola diri dan hubungan mereka dengan lebih baik, mengurangi agresi, dan membuat orang di sekitar lebih mungkin untuk bertindak. Biasanya SEL diakukan di sekolah-sekolah, pada sela-sela KBM. Bisa juga dilakukan pada sekolah-sekolah informal. 

Penelitian Fithria et.al (2025), Peningkatan keterampilan persahabatan dan koneksi antar teman menciptakan budaya sekolah yang lebih inklusif dan tangguh, sehingga perundungan menjadi kurang dapat diterima secara sosial. 

Call to Action:

Seluruh entitas masyarakat harus ikut memutus mata rantai bullying dengan mengedukasi dimensi individu, hubungan dekat, komunitas, dan masyarakat. Kamu guru? Beri waktu untuk kasih murid penjelasan tentang bahaya bullying. Kamu lagi kerja di bidang CSR? Bikin program sosialisasi anti-bullying di komunitas. Kamu orangtua? Tanamkan empati sejak dini kepada anak, rajin membacakan buku cerita. Kamu peneliti? Buat penelitian yang mengkaji program program anti-bullying yang bisa diterapkan di Indonesia. Kamu orang yang gak sengaja liat teman dirundung? Laporkan kepada pihak sekitar, jangan diam dan ikut melanggengkan perilaku menyimpang.

Meskipun kebijakan adalah salah satu hal yang sangat penting secara socio-ekologis, sayangnya, kita tidak punya kemewahan untuk berharap pada pembuat kebijakan. 

Jika pemerintah, politik, dan orang di atas tidak mau berbenah, hanya sibuk dengan kepentingan dan keserakahan masing-masing, dan mengabaikan masyarakat yang seharusnya dilayani, 

Persetan mereka semua. 

Tragedi ini adalah alarm keras dan penanganannya tidak boleh ditunda. 

Pendidikan bukan hanya soal akademik tapi tentang memanusiakan manusia!

Dan sampai hari itu tiba, ayo terus berjuang di lingkaran kecil kita masing-masing. 

Semoga segera pulih, negaraku.


Referensi

Chen, Q., Zhu, Y., & Chui, W. H. (2021). A Meta-Analysis on Effects of Parenting Programs on Bullying Prevention. Trauma, violence & abuse, 22(5), 1209–1220. https://doi.org/10.1177/1524838020915619

Fraguas D, Díaz-Caneja CM, Ayora M, et al. Assessment of School Anti-Bullying Interventions: A Meta-analysis of Randomized Clinical Trials. JAMA Pediatr. 2021;175(1):44–55. doi:10.1001/jamapediatrics.2020.3541

Gaffney, H., Ttofi, M. M., & Farrington, D. P. (2021). What works in anti-bullying programs? Analysis of effective intervention components. Journal of school psychology, 85, 37–56. https://doi.org/10.1016/j.jsp.2020.12.002

Fithria , F., Rauzatul Jannah, S. ., Aiyub, A., Alfiandi, R., Nirwan , N., & Sri Agustina, S. (2025). The role of social-emotional learning in reducing bullying among adolescents: Evidence from Aceh, Indonesia. Acta Biomedica Atenei Parmensis, 96(1), 16201. https://doi.org/10.23750/abm.v96i1.16201

World Health Organization. (2016). INSPIRE: Seven strategies for ending violence against children. World Health Organization.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar Resiliensi Melalui Persiapan Studi Ke Luar Negeri

Memaknai "Belajar" di Negeri Seberang

Modul Parenting dan Konsultasi Orang Tua